Kisah Islamiah malam ini melanjutkan kisah tentang Sunan Kalijaga.
Bagi yang belum membaca cerita sebelumnya silahkan simak dibawah ini.
Pertemuan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang
Sunan Kalijaga Mencari Guru Sejati
Kisahnya.
Arti dari Tongkat dan Bisa mengambang di air.
Dalm kisah sebelumnya, Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat (agama) di tepi sungai.
Itu artinya bahwa Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak memiliki aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama, yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai, bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai itu.
Itu artinya bahwa Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri, yaitu agam Islam.
Demikianlah, Sunang Bonang mampu memperlihatkan banyak makna dari kegiatan yang dilakukan. Raden Said hingga terpana, padahal Raden Said masih bingung mencerna arti semua itu.
Kerinduan Seorang Ibu.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, ibunda Raden Said, istri dari Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban berhasil menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban.
Hati ibu Raden Said seketika terguncang.
Bagaimana tidak, kebetulan sekali saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng sama persis dengan yang dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu, tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya.
Dia benar-benar telah menyesal telah mengusir anak yang disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban.
Hanya saja, Raden Said tidak langsung ke Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Lantunan Al Qur'an yang Hebat.
Untuk mengobati kerinduan sang ibu, tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi, yaitu membaca Al Qur'an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Namun meski begitu, Raden Said belum menampakkan dirinya.
Raden Said masih memiliki tugas yang harus dia kerjakan, yaitu menemukan adiknya yang telah pergi dari Kadipaten Tuban. Dia ingin mengajak adik kesayangannya itu untuk kembali ke dalam pelukan orang tua mereka.
Pada akhirnya, Raden Said berhasil menemukan adiknya yang bernama Dewi Rasawulan dan kemudian mereka menuju ke istana Kadipaten Tuban bersama-sama.
Melepas Rindu.
Tak terikirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat mereka cintai itu.
Setelah agak lama melepas rindu, tiba saatnya Adipati Tuban bercakap-cakap dengan Raden Said.
"Wahai anakku, apakah engkau yang telah menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten Tuban ini?" tanya sang ayah.
"Benar ayahanda," jawab Raden Said.
"Dengan apa engkau menggetarkan dinding istana ini," tanya sang ayah lagi.
"Dengan bacaan Al Qur'an ayahanda, alhamdulillah aku mampu menggetarkan dinding istana kadipaten Tuban, semua berkata Allah SWT.. Hingga pada akhirnya saya berani kembali kemari sesuai dengan permintaan ayah dan ibu," jawab Raden Said.
"Wahai anakku, sungguh tinggi ilmu agamamu, semoga dapat engkau gunakan untuk kebaikan di tanah Jawa ini," ujar sang ayah.
Karena usia Adipati sudah tua, maka tampuk pimpinan akan diserahkan kepada anaknya, Raden Said. Namun, dengan halus Raden Said menolaknya.
Karena Raden Said tak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri, yaitu putra dari Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembarannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah hingga ke Jawa Barat.
Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga mudah diterima dan dianggap sebagai Guru se tanah Jawa dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja.
Dalam usia lanjut,beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.
Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah SWT.
Amiin..