Jangan pernah sekalipun meremehkan yang namanya hutang, karena hutang kalau belum terbayar, sampai mati pun masih tetap dianggap sedang berhutang.
Dikisahkan oleh Sayyid Ali, seorang ulama di zamannya. Beliau merupakan putra dari seorang ulama besar, seorang ahli fiqih yakni Al Amir Sayuid Hasan bin Al Amir Sayyid Muhammad.
Pada suatu hari, Saayid Ali yang tinggal di Iran, menimba ilmu, telah mendengar kabar berita duka. Ayahnya telah meninggal dunia sehingga ia meminta izin untuk mengurus jenazah ayahnya.
Tujuh bulan kemudian, giliran ibunya yang meninggal dunia dan di makamkan di daerah Najef, Irak.
Tak lama kemudian, Sayyid Ali bermimpi bertemu ayahnya. Dalam mimpimya, ia melihat seolah-olah sedang duduk di rumah dan ayahnya masuk sembari mengucapkan salam.
Sang ayahnya kemudin duduk din hadapannya sambil menyapanya dengan lemah lemubut.
Sayyid Ali sadar benar bahwa ayahnya sudah meninggal dunia. Ia pun bertanya kepada ayahnya,
"Ayah, bukankah ayah telah meninggal?"
Kemudian Syayyid Ali bertanya tentang keadaannya.
Ayahnya menjawab,
"Dahulu kuburku kesempitan, dan sekarang alhamdulillah dalam keadaan yang baik, kesempitan dan himpitan itu menghilang dariku."
Sayyid Ali heran dengan kejadian itu, dan dengan heran, ia bertanya lagi.
"Ayah dalam kesempitan?"
Ayahnya menjawab,
"Ya,arena Haji Ridha bin A'a Babasy Syahir menagihku, dan itu yang menyebabkan buruk keadaanku."
Sayyid Ali bertambah heran, lalu ia terbangun dari tidurnya dalam keadaan takut dan heran. Kemudian ia menginkan surat kepada saudara ayahnya tentang wasiat ayahnya dalam mimpi.
Dalam surat tersebut, Sayyid Ali bertanya apakah ayahnya dahulu memiliki hutang kepada orang tersebut atau tidak. Dan saudaranya menjawab dengan balasan surat juga.
Dalam surat balasannya, saudaranya mengatakan bahwa ia sudah memeriksa buku harian ayah, namun ia tak menemukan nama dari orang tersebut.
Sayyid Ali masih belum puas dengan jawaban saudaranya tersebut. Ia kemudian mengirim surat lagi untuk yang kedua kalinya yang isinya agar saudaranya menanykan langsung kepada orang yang bersangkutan.
Kemudian saudaranya membalas surat lagi.
"Setelah aku tanya kepada orang tersebut, ternyata memang benar ayah pernah berhutang kepadanya."
"Ya ayahmu pernah punya hutang kepadaku sebesar 18 tuman (mata uang Iran), dan tak ada yang mengethaui selain kami dan Allah SWT saja."
Setelah ayahmu wafat, aku pernah bertanya kepadamu, apakah namaku ada dalam daftar buku harian ayahmu, kamu menjawabnya tidak ada. Aku kecewa dan hatiku terasa sesak karena pernah meminjamkan uang tanpa ada bukti di secarik kertas dan aku yakin ia tidak mencatat namaku dalam buku hariannya.
Kemudian aku pulang dengan hati yang kecewa.
Kemudian saudaranya tersebut menceritakan kepada Haji Ridha tentang mimpi yang dialami oleh Sayyid Ali. Kemudian orang tersebut berkata,
"Karena berita ini dari saudaramu, sekarang hutangnya aku relakan dan aku ikhlaskan."
Waalahu A'lam...
Dikisahkan oleh Sayyid Ali, seorang ulama di zamannya. Beliau merupakan putra dari seorang ulama besar, seorang ahli fiqih yakni Al Amir Sayuid Hasan bin Al Amir Sayyid Muhammad.
Pada suatu hari, Saayid Ali yang tinggal di Iran, menimba ilmu, telah mendengar kabar berita duka. Ayahnya telah meninggal dunia sehingga ia meminta izin untuk mengurus jenazah ayahnya.
Tujuh bulan kemudian, giliran ibunya yang meninggal dunia dan di makamkan di daerah Najef, Irak.
Tak lama kemudian, Sayyid Ali bermimpi bertemu ayahnya. Dalam mimpimya, ia melihat seolah-olah sedang duduk di rumah dan ayahnya masuk sembari mengucapkan salam.
Sang ayahnya kemudin duduk din hadapannya sambil menyapanya dengan lemah lemubut.
Utang Tak Tercatat
Sayyid Ali sadar benar bahwa ayahnya sudah meninggal dunia. Ia pun bertanya kepada ayahnya,
"Ayah, bukankah ayah telah meninggal?"
Kemudian Syayyid Ali bertanya tentang keadaannya.
Ayahnya menjawab,
"Dahulu kuburku kesempitan, dan sekarang alhamdulillah dalam keadaan yang baik, kesempitan dan himpitan itu menghilang dariku."
Sayyid Ali heran dengan kejadian itu, dan dengan heran, ia bertanya lagi.
"Ayah dalam kesempitan?"
Ayahnya menjawab,
"Ya,arena Haji Ridha bin A'a Babasy Syahir menagihku, dan itu yang menyebabkan buruk keadaanku."
Sayyid Ali bertambah heran, lalu ia terbangun dari tidurnya dalam keadaan takut dan heran. Kemudian ia menginkan surat kepada saudara ayahnya tentang wasiat ayahnya dalam mimpi.
Dalam surat tersebut, Sayyid Ali bertanya apakah ayahnya dahulu memiliki hutang kepada orang tersebut atau tidak. Dan saudaranya menjawab dengan balasan surat juga.
Dalam surat balasannya, saudaranya mengatakan bahwa ia sudah memeriksa buku harian ayah, namun ia tak menemukan nama dari orang tersebut.
Sayyid Ali masih belum puas dengan jawaban saudaranya tersebut. Ia kemudian mengirim surat lagi untuk yang kedua kalinya yang isinya agar saudaranya menanykan langsung kepada orang yang bersangkutan.
Akhirnya di Ikhlaskan
Kemudian saudaranya membalas surat lagi.
"Setelah aku tanya kepada orang tersebut, ternyata memang benar ayah pernah berhutang kepadanya."
"Ya ayahmu pernah punya hutang kepadaku sebesar 18 tuman (mata uang Iran), dan tak ada yang mengethaui selain kami dan Allah SWT saja."
Setelah ayahmu wafat, aku pernah bertanya kepadamu, apakah namaku ada dalam daftar buku harian ayahmu, kamu menjawabnya tidak ada. Aku kecewa dan hatiku terasa sesak karena pernah meminjamkan uang tanpa ada bukti di secarik kertas dan aku yakin ia tidak mencatat namaku dalam buku hariannya.
Kemudian aku pulang dengan hati yang kecewa.
Kemudian saudaranya tersebut menceritakan kepada Haji Ridha tentang mimpi yang dialami oleh Sayyid Ali. Kemudian orang tersebut berkata,
"Karena berita ini dari saudaramu, sekarang hutangnya aku relakan dan aku ikhlaskan."
Waalahu A'lam...
Belum Lunasi Hutang, Jasad Dihimpit Bumi